Di dunia normal, mahasiswa hanya dibagi dua: lulus atau tidak.
Tapi di dunia kampus? Tidak sesederhana itu.

Ada mahasiswa yang hidupnya ringan seperti daun jatuh,
dan ada yang hidupnya berat seperti skripsi bab 4 tapi datanya belum ada.

Keduanya punya kesamaan kok: kantung mata, deadline, dan KRS yang katanya “perencanaan masa depan” tapi tetap berakhir hidup seadanya.

“Kuliah itu bukan cuma soal duduk di kelas, tapi juga bertahan dari sistem yang kadang bikin bingung tapi tetap harus dijalani.”

Screenshot-able? Silakan.

Lalu lahirlah dua spesies besar: yang kuliah – pulang dan yang kuliah – rapat.

Tidak ada pilihan “hidup tenang tapi produktif dengan sehat”. Itu cuma mitos seperti absensi dosen tepat waktu.


Mahasiswa Kupu-Kupu: Hidup Damai, Minim Drama, IPK Masih Cukup Bernapas

Ini mereka.
Makhluk paling damai di kampus.

Kuliah selesai? pulang.
Dosen batal? pulang.
Teman ngajak nongkrong? dipikir dulu, karena kasur menatap lebih hangat.

Rumah adalah basecamp. Kasur adalah safe zone. WiFi rumah adalah berkah terbaik setelah air mineral gratis di kampus.

Orang-orang bilang: “Kurang aktif.” “Kurang organisasi.” “Kurang ikut kesibukan kampus.”

Padahal mereka hanya sadar: hidup sudah seperti mode hardcore difficulty,
ngapain nambah side quest kalau main quest saja sudah bikin pusing?

Kadang mereka disindir, kadang dibandingkan, kadang dianggap “kurang berkembang”.

Padahal ya… mungkin mereka hanya tidak ingin hidup sebagai laptop lowbat yang tetap dipaksa render video 4K.

Mereka bukan tidak ambisius. Mereka hanya ingin hidup dengan jadwal manusia, bukan kalender Google yang selalu penuh.


Mahasiswa Kura-Kura: Hidup Sebagai Makhluk Rapat, Nafasnya Notulen

Sekarang mari kita lihat spesies satunya.

Mahasiswa yang hidupnya: kuliah → rapat
kuliah → rapat
tidur? kalau sempat.

Mereka tidak hanya punya jadwal. Mereka punya timeline kehidupan yang diukur per rapat, bukan per hari.

Pagi rapat divisi. Siang rapat panitia. Sore rapat kerja. Malam rapat evaluasi. Tengah malam rapat healing, tapi tetap stres.

Chat WhatsApp mereka penuh: tiga grup organisasi, empat grup kepanitiaan, dua grup “panitia cadangan”, dan satu grup khusus untuk ngomong: “Guys, jadi gimana?”

Rapat membahas rapat. Rapat mempersiapkan rapat berikutnya. Kadang rapat untuk mencari jawaban dari pertanyaan sakral: “Acara ini sebenernya mau ngapain sih?”

Ironinya, kampus dan orang dewasa memuja mereka. “Ini mahasiswa aktif!” “Ini calon pemimpin masa depan!” “Ini kebanggaan kampus!”

Tapi jarang yang bertanya: masih sehat kah? masih punya waktu tidur kah? masih punya kehidupan pribadi kah?

Mereka tidak butuh motivasi. Mereka butuh tidur. Panjang. Tanpa notulen.


Dua Dunia, Dua Drama — Tapi Sama-Sama Kelelahan dengan Caranya Sendiri

Di satu sisi, kupu-kupu terlihat terlalu santai. Di sisi lain, kura-kura terlihat terlalu sibuk.

Yang satu sepi aktivitas. Yang satu hidupnya seperti RPG dengan side quest tidak ada habisnya.

Yang satu bosan, yang satu hampir burnout tapi masih bilang: “Gapapa kok, namanya juga proses.”

Kadang kupu-kupu diam-diam iri: “Kayaknya seru ya hidup banyak kegiatan.”

Kadang kura-kura juga iri: “Enak banget bisa pulang tanpa rasa bersalah.”

Dan di tengah keduanya ada kampus, yang masih percaya bahwa: sibuk = hebat
banyak organisasi = masa depan cerah
capek = wajib
batas diri = tidak penting, nanti saja

Sementara kenyataannya? Ada banyak organisasi yang lebih sering rapat dibanding menghasilkan sesuatu. Ada banyak “aktivitas kampus” yang lebih sibuk pencitraan daripada berdampak. Ada banyak mahasiswa yang dipuji “aktif” padahal setengah hidupnya sedang terbakar pelan-pelan.

Lucu? iya.
Sedih? juga iya.
Campur. Biar realistis.


Tes Kepribadian Kampus: Kamu Spesies Apa?

Jawab jujur. Jangan sok kuat.

1. Jam 9 malam, ada chat: “Guys rapat bentar ya, cuma 30 menit.”
A. Langsung menghilang seperti hantu.
B. Join. Sampai jam 12. Dengan sabar.
C. Lihat chat, buka, baca, tutup, tidur.

2. Weekend datang. Dunia terasa lega. Kamu…
A. Rebah, makan, scroll, hidup terasa indah.
B. Acara. Rapat. Panitia. Hidup jalan terus.
C. Tidak sadar weekend karena semua hari terasa sama.

3. Grup WhatsApp panitia sepi lama, tiba-tiba aktif…
A. Auto mute.
B. Panik tapi tetap jawab, “siap.”
C. Membaca dari jauh sambil merenungi hidup.

4. Pertanyaan dosen: “Kalian ikut organisasi?”
A. Senyum, bilang: tidak, tapi bahagia.
B. Daftar CV mental sambil tertawa getir.
C. Menggeleng sambil ingin tidur.

Hasilnya:

Banyak A = Kupu-Kupu Murni
Kamu damai. Kamu tenang. Kadang disalahpahami. Tapi kamu masih hidup sebagai manusia. Bangga lah.

Banyak B = Kura-Kura Tangguh
Kamu pilar peradaban kampus. Tanpa kamu, acara bubar. Tapi tolong, tidur.

Banyak C = Makhluk Ambang Eksistensi
Tidak sepenuhnya kupu-kupu. Tidak sepenuhnya kura-kura. Kamu… makhluk transisi. Hidup, tapi bertanya-tanya: “Kenapa hidupku begini?”


Penutup: Tidak Ada yang Paling Benar — Yang Ada Cuma yang Masih Waras

Pada akhirnya, kupu-kupu atau kura-kura, dua-duanya hanya manusia yang mencoba bertahan.

Sama-sama kuliah. Sama-sama stres. Sama-sama ingin lulus tanpa kehilangan kewarasan.

Kampus boleh memuja kesibukan. Organisasi boleh memuja produktivitas.

Tapi hidupmu tetap hidupmu. Tidak harus jadi “super sibuk”. Tidak harus jadi “super santai”. Yang penting: masih jalan. masih bernapas. masih bisa ketawa sedikit, meski kadang pahit.

Dan kalau sudah selesai membaca ini, silakan jujur: kamu spesies apa? Atau punya spesies baru yang lebih absurd? Kirim saja — siapa tahu kita bisa menambah katalog kebun binatang kampus ini.