Dunia yang Tidak Mengizinkan Kita Kelihatan “Manusia”

Konon, manusia itu makhluk paling kompleks di muka bumi.
Punya perasaan. Punya pikiran. Punya kemampuan untuk bahagia… dan juga hancur.

Sayangnya, kita hidup di zaman di mana hanya setengah dari sisi kemanusiaan itu yang boleh ditampilkan: yang bahagia saja.

Kalau kamu bilang, “Aku lagi capek banget.” akan langsung ada yang jawab, “Jangan capek dong, berpikir positif ya!”

Kalau kamu bilang, “Hidupku lagi berat.” jawabannya, “Berat cuma di pikiran kamu aja. Semangat!”

Padahal yang kamu butuh mungkin cuma ini: “Wah iya, berat ya. Gue dengerin.”

Tapi tentu saja itu terlalu mahal. Lebih hemat kasih kata-kata mutiara gratisan. —

“Harus Bahagia Ya” — Ancaman Paling Halus di Dunia Modern

Sekarang, kita hidup di zaman yang kaya dengan kalimat-kalimat penuh empati palsu. Kalimat yang kelihatan seperti pelukan, padahal lebih mirip tamparan dengan tangan dilapisi lotion beraroma lavender.

Coba kamu ngaku stres sedikit saja. Langsung ada yang bilang, “Jangan stres dong, nanti jadi penyakit.”

Terima kasih, sangat membantu. Seolah otak kita bisa milih mode: Sedih — OFF Bahagia — ON

Kalau sesederhana itu, rumah sakit jiwa tutup sejak lama, diganti jadi coffee shop estetik. —

Media Sosial: Tempat Orang Bahagia, Bukan Tempat Orang Manusia

Media sosial sekarang seperti kota yang dihuni orang-orang paling kuat di dunia. Semua selalu ceria. Semua penuh energi. Semua hidupnya sukses.

Kalau ada yang mengaku lelah, dia harus tetap posting dengan caption: “Capek banget hari ini, tapi tetap bersyukur ya guys 😊✨”

Capek tapi masih harus pakai emoji ceria. Itu bukan kuat. Itu mental gladi resik lomba ketahanan senyum.

Yang lucu, kalau kamu bilang hidupmu berat, selalu ada orang yang bilang, “Orang lain lebih susah tau!”

Oh maaf ya, saya lupa kalau hidup itu lomba kesengsaraan. Kurang menderita belum layak mengeluh. —

Positif, Tapi Kok Rasanya Seperti Diprank?

Masalah terbesar toxic positivity itu ini: dia kelihatan baik. Kelihatan mulia. Kelihatan penuh cinta.

Padahal kalau dipikir, itu cuma cara halus bilang: “Tolong jangan repotin kami dengan perasaanmu.”

Karena jujur saja, banyak orang tidak ingin benar-benar mendengar keluhanmu. Mereka cuma ingin terlihat “baik” dengan mengeluarkan dua kalimat standar: “Semangat ya ❤️” “Semuanya akan baik-baik saja.”

Lalu mereka lanjut nonton video lucu. Sementara kamu lanjut mikirin hidup. Adil? Tidak. Lucu? Iya. Menyedihkan? Juga iya. Campur saja lah biar gurih. —

Pada Akhirnya, Kita Hanya Diminta Untuk Tetap Berfungsi

Dunia tidak benar-benar peduli kamu baik atau tidak. Yang penting: tetap kerja. tetap kuliah. tetap produktif. dan jangan bikin orang lain tidak nyaman dengan luka yang kamu punya.

Kalau mau runtuh, tolong runtuh yang rapi. Jangan berisik. Jangan dramatis. Dan kalau bisa tetap bermanfaat bagi masyarakat. Terima kasih. —

Penutup: Kalau Hidup Sedang Gelap, Tidak Usah Dipaksa Glow Up

Jika hari ini kamu lelah, ingin menyerah, ingin tidur seminggu penuh, atau cuma ingin diam tanpa harus dibilangi “semangat”…

itu wajar.

Kamu tidak salah. Kamu tidak lemah. Kamu hanya manusia, bukan papan iklan kebahagiaan berjalan.

Tidak usah selalu kuat kok. Tidak usah selalu positif. Tidak usah selalu terlihat baik-baik saja.

Karena kadang, yang paling waras itu bukan mereka yang paling sering tersenyum, tapi mereka yang cukup jujur untuk berkata:

“Aku tidak baik-baik saja. Dan itu bukan dosa.”