Hidup di Dunia yang Terlalu Sibuk Menjadi Menarik

Ada satu orang yang hidupnya… biasa saja.
Bangun pagi tidak dengan sunrise estetik, hanya alarm berisik yang bahkan suaranya sedikit serak karena sudah terlalu sering di-snooze.
Sarapan bukan smoothie bowl warna pastel, hanya nasi sisa semalam yang dipanaskan ulang.
Kerja, pulang, tidur.
Tidak ada drama, tidak ada “moment of healing”, tidak ada soundtrack mellow di background kehidupannya.

Masalahnya, ia tidak hidup di dunia yang menghargai “biasa”. Ia hidup di era di mana: semua orang ingin terlihat paling unik, paling keren, paling layak ditonton.

Di dunia ini, orang yang hidup normal bukan dianggap tenang…
tapi dianggap tidak update kehidupan.

“Kalau hidup lo gak viral, berarti hidup lo kurang maksimal.”

Entah siapa yang pertama kali ngomong begitu,
tapi sepertinya seluruh manusia diam-diam setuju.


Semua Orang Sibuk Jadi Karakter Utama

Sekarang dunia sudah mirip panggung teater raksasa.
Bukan lagi tentang siapa yang benar-benar bahagia,
tapi siapa yang paling terlihat bahagia.

Yang sedih harus terlihat dramatis,
yang senyum harus selalu cerah seperti lampu studio.

Tidak ada yang boleh biasa. Tidak ada yang boleh sederhana.

Karena algoritma itu seperti dewa baru: kalau kamu tidak menarik,
kamu tidak dianggap ada.

Dan ironisnya, manusia rela mengikuti. Bahkan rela mengubah kepribadian,
hanya supaya cocok dengan template yang lagi viral.


Ketika Hidup Diukur dari Standar TikTok

Masalahnya tidak berhenti sampai di situ.

Standar hidup sekarang bukan lagi: “Apakah bahagia?” “Apakah merasa cukup?” “Apakah hidup nyaman?”

Tidak.

Sekarang standarnya: “Sudah sesuai TikTok belum?”

Kalau pergi healing tapi tempatnya tidak instagramable → sia-sia.
Kalau kerja tapi tidak bisa dipamerkan productivity aesthetic → dianggap belum sukses.
Kalau hidup normal tanpa drama → dianggap “kurang seru”.

Bahkan urusan memilih pasangan pun ikut-ikutan.

Sekarang bukan sekadar: “Apakah dia baik?” “Apakah dia nyaman?” “Apakah dia cocok secara pikiran?”

Tapi: “Cowoknya tinggi minimal 175 cm kan?” “Ceweknya harus no toxic, no drama, tapi harus hyper understanding.” “Relationship goals gak? Bisa dijadikan konten gak?”

Cinta pun sekarang butuh “nilai jual”. Butuh kelayakan untuk jadi video 30 detik dengan caption panjang dan latar lagu galau.

Hubungan tidak lagi tentang dua orang yang berusaha saling mengerti. Tapi dua orang yang berusaha terlihat sempurna di depan orang lain.

Kalau nggak estetik, dianggap salah pilih jodoh. Kalau nggak kayak konten, dianggap relationship-nya gagal.

Padahal di balik layar: banyak yang sebenarnya capek, banyak yang sebenarnya tidak bahagia, tapi tetap bertahan… karena takut tidak terlihat ideal.


Lalu Di Tengah Semua Itu… Ada Mereka yang Hanya Ingin Hidup

Mereka yang tidak ingin viral.
Tidak ingin jadi fenomena sehari.
Tidak ingin ikut lomba perhatian.

Mereka hanya ingin: hidup yang wajar, cinta yang manusiawi, kebahagiaan yang tidak perlu disaksikan penonton.

Tapi di era ini, orang seperti itu malah dianggap aneh.

“Masa sih hidup cuma gitu doang?”

“Masa sih gak mau coba jadi lebih menarik?”

Bahkan bahagia pun sekarang harus punya pembuktian digital. Kalau gak ada bukti, dianggap tidak valid.


Ironi yang Pelan-Pelan Menjadi Biasa

Semakin banyak yang ingin terlihat unik,
semakin sama satu sama lain.

Semua ingin tampil beda, tapi bahan bakunya template yang sama: template konten, template standar hidup, template kebahagiaan, bahkan template cinta.

Sementara yang cuma ingin hidup normal, tiba-tiba jadi makhluk langka.

Mereka tidak ikut lomba. Tidak ikut kompetisi eksistensi. Tidak ikut maraton validasi.

Mereka hanya… hidup.

Dan anehnya, itu sekarang terlihat seperti tindakan paling berani di dunia.


Penutup: Kalau Menjadi Biasa Adalah Kesalahan, Biarlah…

Jadi, salahkah menjadi manusia biasa di zaman seperti ini?

Kalau kata dunia: mungkin iya. Karena dunia sekarang tidak mendukung kesederhanaan.

Tapi kalau kata hati? Tidak sama sekali.

Justru mungkin, yang masih memilih jalan biasa, yang masih berani hidup tanpa harus diakui kamera, yang masih mencari cinta tanpa harus sesuai standar TikTok…

merekalah yang benar-benar hidup sebagai manusia.

Bukan sebagai konten. Bukan sebagai persona. Bukan sebagai karakter dengan naskah algoritma.

Hanya manusia, yang hidup secukupnya, dengan bahagia yang tidak perlu disaksikan siapa-siapa.