Ada satu fase dalam hidup mahasiswa yang selalu terdengar heroik tapi kenyataannya tragikomedi: fase mahasiswa akhir. Di masa ini, kopi bukan sekadar minuman, tetapi alat bertahan hidup. Revisi bukan lagi aktivitas, tapi identitas. Dan yang paling sakral dari semuanya… adalah janji bimbingan yang entah kapan jadi kenyataan.

Setiap mahasiswa akhir berangkat dengan mimpi sederhana: konsultasi, revisi, maju sidang, lulus, bahagia. Tapi itu hanya di brosur promosi kampus. Di dunia nyata, terutama di kampus penuh drama, skenario hidup mahasiswa akhir jauh lebih rumit. Mereka bolak-balik bimbingan dengan penuh harapan, tapi yang ditunggu justru dosen penguji yang keberadaannya seperti tokoh mitologi — ada dalam struktur organisasi, tapi jarang terlihat secara fisik.

Awalnya selalu terdengar profesional: jadwal sudah ditetapkan, sistem sudah rapi, dan semuanya terasa menjanjikan. Mahasiswa datang tepat waktu, berpakaian sopan, dokumen lengkap, mental siap. Tapi yang datang bukan kepastian, melainkan kalimat legendaris, “Dosen pengujinya lagi ada agenda mendadak ya, ditunda dulu.” Agenda mendadak yang entah kenapa terasa sangat rutin, karena datangnya setiap minggu.

Mahasiswa akhirnya menjalani ritual klasik mahasiswa akhir: mencetak ulang berkas karena format salah dua piksel, membeli map baru seolah map lama tidak pernah ada, menyusun ulang bab skripsi walau sudah benar, lalu mengirim email penuh kesopanan yang dibalas tak jelas kapan. Dunia akademik bilang ini proses pembelajaran. Tapi yang terasa justru pembelajaran sabar, pembelajaran pasrah, dan pembelajaran menghadapi ketidakjelasan hidup.

Lucunya, mahasiswa sebenarnya bukan malas. Mereka siap bekerja keras, siap revisi, siap lembur, siap berusaha. Tapi bagaimana caranya maju jika pengujinya seperti hantu: disebut ada, tapi tak pernah muncul tepat waktu? Lama-lama pertanyaan eksistensial muncul: apakah salah topik? salah jurusan? atau salah percaya jadwal?

Dan yang paling ironis, kampus dengan bangga mengatakan bahwa mahasiswa telah ditempa menjadi pribadi tangguh dan siap menghadapi dunia kerja. Padahal sebelum menghadapi kerasnya industri, mereka sudah lebih dulu bertahan hidup menghadapi sistem kampus sendiri.

Pada akhirnya, mahasiswa akhir bukan kalah oleh skripsinya. Bukan kalah oleh teori, bukan kalah oleh metodologi. Mereka kalah oleh satu hal: ketidakjelasan yang dijadikan budaya. Tapi seperti biasa, mahasiswa tetap bertahan. Masih bisa ketawa, masih bisa bikin meme, masih bisa bercanda ke adik tingkat, “Skripsi itu bukan tentang penelitian, tapi tentang siapa yang paling sabar.”

Selamat datang di realita mahasiswa akhir: tempat di mana mental diuji, logika dilupakan, dan harapan terus dipelihara meski sering dikecewakan. Kalau kamu sedang di fase ini… kuatkan hati. Kalau kamu sudah lewat fase ini… selamat, kamu survivor resmi dunia pendidikan.